Bila kita ingin mengetahui bahwa
shalawat termasuk ibadah yang utama, maka perhatikan dan renungkan
firman Allah Swt dalam al-Quran: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikatNya, bershalawat atas Nabi, wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkan
salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab 56).
Shalawat adalah sebuah ibadah yang
tidak berbatas alam, jarak ataupun waktu. Artinya bila diucapkan maka
akan menembus alam langit yang sangat jauh, didengar para malaikat, lalu
turut menyampaikan doa bagi manusia yang mengucapkannya, dan menembus
Alam kubur menyampaikan salam yang diucapkan manusia kepada Nabi
Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda:
ما
منكم من أحدٍ سلّم علي إذا متُّ إلا جاءني جبريل فقال جبريل يا محمد هذا
فلان ابن فلان يُقرئك السلام، فأقول وعليه السلام ورحمة الله وبركاته.
(رواه أبو داود).
Artinya: “Tidak ada salah seorang di
antara kamu yang mengucapkan salam kepadaku sesudah aku mati melainkan
malaikat jibril datang kepadaku seraya mengucapkan: ‘wahai Muhammad, ini
Fulan bin Fulan mengucapkan salam untukmu, maka aku menjawab: “dan
atasnya salam dan rahmat serta berkah dari Allah”. (HR. Abu Daud)
Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah
bersabda bahwa, "Malaikat Jibril AS, Mikail AS, Isrofil AS, dan Izroil
AS, telah berkata kepadaku ;
Malaikat Jibril 'Alaihi Salaam berkata,
"Wahai Rasulullah, barangsiapa yang
membaca Shalawat kepadamu tiap-tiap hari sebanyak 10 Kali, maka akan Aku
bimbing tangan nya, dan akan Aku bawa dia melintasi titian Shirothol
Musthaqiim (Lebarnya seperti rambut dibelah 7, tajamnya seperti 70
pedang, dalamnya perjalanan 500 Tahun) seperti kilat yang menyambar".
Berkata pula Malaikat Mikail 'Alaihi Salaam,
"Mereka yang bershalawat kepadamu, akan Aku beri mereka minum dari telagamu (Telaga Haudh)".
Berkata pula Isrofil 'Alaihi Salaam,
"Mereka yang bershalawat kepadamu,
Aku akan sujud kepada اَللّهُ سبحانه وتعالى dan Aku tidak akan
mengangkat kepalaku sehingga اَللّهُ سبحانه وتعالى mengampuni orang
tersebut".
Dan Malaikat Izroil 'Alaihi Salaam pula berkata,
"Bagi mereka yang bershalawat
kepadamu, akan Aku cabut ruh mereka itu dengan selembut-lembutnya, yakni
seperti Aku mencabut ruh para Nabi-Nabi".
اللهم صل على سيدنا و حبيبنا و شفيعنا و قرة أعيننا و مولانا محمد وعلى آله وصحبه وسلم Lihatlah
kemuliaan Shalawat, para Malaikat memberikan jaminan masing-masing untuk
orang-orang yang bershalawat kepada Baginda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم
Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa bershalawat kepadaku
pada hari Jum'at, maka Shalawat tersebut akan menjadi syafa'at baginya
kelak di hari Kiamat" (H.R. Dailami dari Sayyidah 'Aisyah رضي الله
عنـها)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنـه,
"Jika telah tiba hari kamis, maka
اَللّهُ mengutus Malaikat yang bersamanya buku-buku yang terbuat dari perak
dan pena-pena yang terbuat dari emas, untuk mencatat manusia yang banyak
bersholawat kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم pada hari kamis, malam
Jum'at, dan hari jum'at.
Sungguh sebenarnya aku cinta Sungguh sebenarnya aku jatuh cinta Bukan seperti yang kemarin Bukan seperti yang lain Karena bukan main-main Ketika hati ini jujur Entah mengapa kaulah sosok pelipur Yang membuat nyaman dari rasa hancur Hingga segala asa dan hati ini bercampur Bingung.. Ragu.. Ataukah tidak tau.. Sanubari ini selalu mengoceh bisu Sampai meracau seperti terbelenggu Sekarang semuanya semakin dalam Akupun tak tau seberapa dalamnya Yang aku tau.. Hingga saat ini aku hanya merasakan nyaman Jadi inikah perasaan itu? Mau senang ataukah termenung? Sungguh, aku hanya ingin tersenyum di akhir sebuah kisah Bukan hanya aku Tapi kita..
a. Dalil Shalat Cepat b. Ketentuan Fidyah Bagi Orang Sakit c. Maksud Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan d. Menggabungkan Niat Puasa e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’ f. Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan g. Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
a. Dalil Shalat Cepat
Telah menjadi hal yang umum manakala bulan Ramadhan tiba, di setiap
masjid atau musholla diadakan sholat sunnah Tarawih secara berjamaah,
baik yang berjumlah 8 maupun 20 rakaat. Namun biasanya yang 20 rakaat
dilakukan secara cepat atau lebih cepat daripada yang hanya 8 rakaat.
Adakah dasarnya melakukan shalat secara cepat?
Dalil diperbolehkannya shalat sunnah cepat adalah didasari dari berbagai macam hadits berikut ini:
“Bahwa Ummu Hani Ra. melihat Nabi Saw. melakukan shalat Dhuha, beliau
Saw. mandi di hari Fathu Makkah (saat itu) lalu shalat 8 rakaat, dan
tidak pernah kulihat Rasul Saw. shalat secepat itu, namun beliau
menyempurnakan rukuk dan sujud.” (Shahih Bukhari Bab al-Jum’at dan Bab
al-Maghaziy).
Dari Hafshah Ra.: “Sungguh Rasul Saw. menanti
muadzin untuk Shubuh, dan melakukan shalat Qabliyah Shubuh dengan ringan
(cepat) sebelum shalat Shubuh.” (Shahih al-Bukhari Bab Adzan).
Dari Aisyah Ra. berkata: “Rasul Saw. sangat cepat melakukan shalat
Qabliyah Shubuh, hingga aku berkata dalam hati apakah beliau Saw.
membaca al-Fatihah atau tidak.” (Shahih Bukhari Bab al-Jum’at).
Hadits di atas dari Aisyah Ra. yang menyaksikan shalat Nabi Saw.
sedemikian seakan tidak membaca al-Fatihah. Teriwayatkan pula pada
Shahih Muslim pada Bab Shalatul Musafirin wa Qashriha, teriwayatkan dua
hadits yang sama pada bab yang sama.
Jelas sudah
diperbolehkannya shalat sunnah dengan cepat, demikian teriwayatkan pula
pada Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam oleh Ibn Rajab bahwa diantara ulama
salaf melakukan shalat sunnah 1000 rakaat. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam
hadits no. 2 dan no. 50).
Bagaimana seorang melakukan shalat
1000 rakaat, terkecuali ia melakukannya dengan cepat. Jelas sudah
diperbolehkannya shalat sunnah dengan cepat, namun yang dimaksud
menyempurnakan rukuk dan sujud adalah tuma’ninah. Kadar tuma’ninah
adalah sekadar seorang membaca satu kali “Subhanallah” (kurang dari 1
detik). Maka jika seorang melakukan shalat, pada i’tidal, rukuk, duduk,
dan sujud ia harus berdiam segenap tubuhnya sekadar minimal kadar di
atas, jika kurang dari itu maka tidak sah shalatnya.
Sebagaimana beberapa hadits shahih bahwa Rasul Saw. menegur orang yang
shalat cepat dan mengatakan kamu belum shalat, karena ia terus bergerak
tanpa berhenti sekadar tuma’ninah. b. Ketentuan Fidyah Bagi Orang Sakit
Semisal ada orang yang sakit terus menerus yang dimungkinkan tidak
sembuh lagi, namun setelah 20 tahun kemudian ternyata ia sembuh dan kuat
berpuasa. Selama sakitnya ia membayar fidyah, apakah tetap harus
mengqadhai puasa yang telah diganti fidyah tersebut?
Kalangan
Syafi’iyah berpendapat bahwa bila pengakhiran qadha puasa tersebut sebab
adanya ‘udzur yang istimrar (terus menerus), baginya cukup mengqadha
puasa itu tanpa menyertakan membayar fidyah. Barangsiapa yang
mengakhirkan qadha puasa Ramadhan, padahal memiliki kesempatan untuk
mengqadhanya, hingga memasuki Ramadhan yang lain (Ramadhan berikutnya)
wajib baginya di setip hari yang pernah ia tinggalkan satu mud (6,5 ons)
karena enam shahabat nabi menyatakan masalah ini dan tidak ada
perbedaan di antara mereka, dan ia berdosa sebab mengakhirkannya.
Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “Dan wajib baginya satu
mud sebab mengakhirkannya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Sedang bagi
yang tidak berkesempatan mengqadhainya karena udzurnya yang terus
berlangsung hingga memasuki Ramadhan berikutnya maka tidak berkewajiban
membayar fidyah (sehari satu mud) sebab pengakhiran qadhanya.” (Al-Iqna’
li asy-Syarbiniy juz 1 halaman 243).
Sedangkan pendapat yang
menyatakan tidak perlu mengqadhainya lagi adalah pendapat Ibn Abbas, Ibn
Umar, Sa’id bin Jubir dan Qatadah: “Puasa yang ada dijalani, puasa yang
telah lewat fidyahnya dibayari dan tidak ada qadha puasa lagi.”
(Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhaddzab juz 4 halaman 366).
c. Maksud Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan benarkah para setan dibelenggu, melihat faktanya
sewaktu berpuasa masih saja ada yang berpacaran dan maksiat lainnya
masih tetap terjadi?
Hal itu terjadi karena masih dimungkinkan
kejelekan tersebut terjadi akibat nafsu yang jelek dari seseorang atau
pengaruh setan dari bangsa manusia.
Berkata Imam al-Qurthubiy
setelah mengunggulkan pernyataan hadits “Pada bulan Ramadhan pintu
neraka ditutup rapat dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan setan
diborgol” pada dzahirnya hadits, bila ditanyakan “Bagaimana kita masih
banyak melihat kejelekan dan maksiat terjadi di bulan Ramadhan bila
memang setan telah diborgol?” Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi
pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan
menjaga adab-adabnya. Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak
semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang
dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal
nyata karena kejelekan di bulan Ramadhan kenyataannya memang lebih
sedikit dibanding di bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua
setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi
kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut
terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari sebangsa
manusia.”
Dan berkata ulama lainnya: “Pengertian setan
dibelenggu di bulan Ramadhan adalah tidak adanya lagi alasan seorang
mukallaf, seolah-olah dikatakan: “Telah tercegah setan dari menggodamu
maka jangan beralasan dirimu karenanya (godaan setan) saat meninggalkan
ketaatan dan menjalani kemaksiatan.” (Fath al-Bari juz 4 halaman
114-115).
d. Menggabungkan Niat Puasa
Menggabung niat
beberapa puasa sunnah seperti puasa ‘Arafah dan puasa Senin Kamis adalah
boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya. Sebagaimana
dikemukakan oleh Imam al-Kurdi. Bahkan menurut Imam al-Barizi puasa
sunnah seperti hari ‘Asyura, jika diniati puasa lain seperti qadha
Ramadhan tanpa meniatkan pauasa ‘Asyura tetap mendapatkan pahala
keduanya.
Adapun puasa 6 hari bulan Syawal jika digabung dengan
qadha Ramadhan, maka menurut Imam Romli mendapatkan pahala keduanya.
Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan
tidak sah. (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 252, Fath al-Wahab juz 1
halaman 206, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 113-114 dan al-Fawaid
al-Janiyyah juz halaman 145).
e. Membatalkan Puasa saat Ramadhan, Kemudian Berjima’
Suami istri dalam keadaan musafir, lalu mengambil rukhshah untuk tidak
berpuasa (membatalkan puasanya). Setelah itu keduanya melakukan jima’,
bagaimana hukumnya?
Baginya tidak wajib kafarat, bahkan bila
tadinya ia berpuasa kemudian di tengah jalan dibatalkan dengan jima’
maka tidak wajib kafarat menurut Imam Syafi’i karena berbuka puasa saat
musafir baginya mubah. (Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, Fiqh ‘ala
Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman 903 dan Ikhtilaf al-Ummah juz 1
halaman 250).
Namun menurut Imam Malik dan Imam Hanafi wajib
kafarat, sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak wajib.
(Syarh al-Minhaj juz 2 halaman 345, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh juz 3
halaman 97 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz 28 halaman 44).
f. Ketentuan Kafarat Bagi yang Jima’ di Bulan Ramadhan
Terdapat tiga pendapat dalam masalah kafarat (denda pelanggaran) sebab persenggamaan atau jima’ di siang bulang Ramadhan:
1. Kewajiban kafaratnya khusus bagi suami (pendapat paling shahih).
2. Kewajiban kafaratnya bagi suami dan istri (satu kafarat untuk mereka berdua).
3. Masing-masing suami istri wajib mengeluarkan kafarat. Pendapat
paling shahih adalah yang menyatakan kewajiban kafarat khusus bagi suami
sebagai denda buatnya sendiri, dan untuk istri tidak diwajibkan
sesuatupun (kecuali qadha).
4. Kewajibannya bagi suami hanya
saja dia wajib mengeluarkan dua kafarat dari hartanya, satu kafarat
untuk dirinya dan satu kafarat untuk istrinya (ini pendapat ad-Darami
dan lainnya). (Al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman
331-332).
g. Mencicipi Makanan Saat Berpuasa
Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa) tersebut bila
memang untuk orang yang tidak ada kepentingan. Sedangkan bagi seorang
pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki
anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan
mencicipi makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam
az-Ziyadi. (Asy-Syarqawiy juz 1 halaman 445).
“Tawassul” dari segi bahasa dari kata “wasilah” yang
berarti ‘darajah’ (kedudukan), ‘qurbah’ (kedekatan), atau dari
‘washlah’ (penyampai dan penghubung). Dalam istilah syariat Islam tawassul dikenal sebagai sarana penghubung kepada Allah melalui ketaatan.
Contoh:orang sakit datang ke dokter, dia menjadikan dokter sebagai
perantara untuk mendapatkan kesembuhan dengan tetap meyakini bahwa
pemberi kesembuhan adalah Allah Swt. Begitu pula seorang murid membaca
buku atau belajar kepada seorang guru, maka dia menjadikan buku dan guru
sebagai perantara untuk meraih ilmu. Sedangkan ilmu pada hakikatnya
dari Allah Swt. Apabila diyakini dokter pemberi kesembuhan atau buku dan guru pemberi ilmu, maka dihukumi sebagai kesyirikan terhadap Allah SWT. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ “ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadanya.” (QS Al-Ma’idah: 35).
Perintah dari Allah di atas untuk mencari wasilah (perantara)
mendekat diri kepada-Nya disebutkan secara mutlak (dalam bentuk
ketaatan). Dalam kitab tafsir Asshowy diterangkan “Termasuk kesesatan
dan kerugian yang nyata apabila mengkafirkan kaum muslimin karena
berziarah ke makam para wali Allah, dengan menuduh bahwa ziarah
merupakan penyembahan kepada selain Allah. Tidak! bahkan termasuk bentuk
cinta karena Allah, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Saw : اَلاَ لاَ إِيْمانَ لِمَن لاَ مَحبةَ له والوسيلة له التي قال الله فيها وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ “Ingatlah ! tidak ada iman bagi orang yang tidak ada cinta, dan
wasillah kepadanya yang dikatakan Al-Qur’an “dan carilah wasilah menuju
Allah”. (As-Showi ala Tafsir jalalain juz 1 hal. 372)
Macam-Macam Tawassul :
a) Tawassul Dengan Amal Solih Hadits riwayat Imam Bukhori No. 2111 hal. 40 juz 8 menceritakan tiga
orang yang terperangkap di dalam goa yang tertutup batu besar. Mereka
keluar dengan selamat setelah memohon kepada Allah dengan wasilah
amal-amal soleh mereka.
b) Tawassul Dengan Orang Solih Yang Hidup Disebutkan dalam sohih Bukhari
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
قَالَ فَيُسْقَوْنَ Diriwayatkan dari Anas bin Malik sesungguhnya Umar bin Khatthab
RA ketika masyarakat tertimpa paceklik, dia meminta hujan kepada Allah
dengan wasilah Abbas bin Abdul Mutthalib, dia berdo’a “Ya Allah! Dulu
kami bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi kami, lalu kami diberi
hujan. Kini kami bertawassul kepadamu dengan perantara paman Nabi kami,
berikanlah kami hujan”. Perawi hadits mengatakan “Mereka pun diberi
hujan.”. HR Bukhory : 4/99.
Jelas sekali bahwa Sayidina Umar r.a. memohon kepada Allah
dengan wasilah Abbas, paman Rasulullah SAW padahal Sayidina Umar lebih
utama dari Abbas dan dapat memohon kepada Allah tanpa wasilah.
c) Tawassul Dengan Orang yang telah meninggal. Dari Sayyidina Ali Ra. “Sesungguhnya Nabi Saw ketika mengubur
Fatimah binti Asad, ibu dari Sayyidina Ali Ra. Nabi mengatakan “Ya
Allah! dengan Hakku dan Hak para nabi sebelumku ampunilah ibu setelah
ibuku (wanita yang mengasuh Nabi sepeninggal Ibu-Nya)”. {HR. Thabrany dalam kitab Ausat juz 1 hal. 152}. Pada hadits tersebut Nabi bertawassul dengan para nabi yang sudah meninggal.
d) Tawassul Dengan Yang Belum Wujud. Allah berfirman :
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا
مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ “Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa
memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang
yang ingkar itu”.(QS Al-Baqarah 89)
Diriwayatkan bahwa kaum Yahudi memohon pertolongan untuk mengalahkan
kaum Aus dan Khazraj dengan wasilah Nabi Muhammad SAW yang kala itu
belum diutus dan mereka diberi kemenangan oleh Allah, Akan tetapi
setelah beliau diutus sebagai Rasul mereka mengkufurinya. (Tafsir
Attobari juz2 hal.333)
Disebutkan pula : عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : « لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي ،
فقال الله : يا آدم ، وكيف عرفت محمدا ولم أخلقه ؟ قال : يا رب ، لأنك لما
خلقتني بيدك ونفخت في من روحك رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لا
إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك Dalam hadits yang diriwayatkan Umar bin Khatthab Ra. Rasullulah
bersabda “Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, Beliau berkata, “Wahai
Tuhanku! aku meminta kepada-Mu dengan Hak Muhammad ampuni aku”. Kemudian
Allah menjawab “Wahai Adam! bagaimana kamu mengetahui tentang Muhammad
padahal Aku belum menciptakan-Nya?”. Adam berkata “Wahai Tuhanku!
karena ketika Engkau ciptakan aku dengan kekuasaan-Mu dan Kau tiupkan
ruh ke dalam diriku, setelah aku mengangkat kepalaku, aku melihat pada
tiang Arsy tertulis “Lailaha illallah Muhammad Rasullullah” maka aku pun
meyakini, tidaklah Kau sandarkan sebuah nama pada nama-Mu kecuali
mahluk yang paling Engkau cintai”. {HR. Hakim dalam kitab Mustadrok
juz 10 hal. 7. dan dishohihkan oleh al-Hafidz As-Suyuthy dalam kitab
khosois an-Nabawiyyah, Imam baihaqy dalam kitab Dalailun Nubuwwah, Imam
al-Qasthalany dan Zarqany dalam kitab al-Mawahib al-Ladzunniyah juz 2
hal. 62, dan Imam As-Subky dalam kitab Syifa’us Siqom}.
Ini adalah bukti bahwa Nabi Adam pun menjadikan Rasulullah
SAW sebagai wasilah sehinga Allah menerima tobatnya, padahal beliau
belum diwujudkan oleh Allah SWT.
e) Tawassul Dengan Benda Mati Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 248 :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ
التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ
آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia
akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya
terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa
dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
Al Hafidz Ibn Kasir dalam kitab tarikh mengatakan: “Ibn Jarir
berkata: “Bani Israil apabila berperang melawan musuh, mereka membawa
tabut, dan mereka mendapatkan kemenangan berkat tabut, yang berisi bekas
peninggalan keluarga Musa dan Imran””. Ibn Kasir mengatakan pula dalam kitab tafsirnya “Tabut itu
berisi tongkat Nabi Musa dan Nabi Harun serta baju Nabi Harun, sebagaian
ulama mengatakan tongkat dan dua sandal”.
Apabila bertawassul dengan bekas peninggalan para Nabi, Allah SWT
ridho dengan perbuaatan mereka dengan mengembalikan tabut itu ke tangan
mereka setelah lama hilang, karena kemaksiatan mereka dan menjadikan
tabut itu tanda keabsahan kerajaan Tholut, padahal isi tabut adalah
benda-benda mati maka apakah menjadi syirik bila kita bertawassul dengan
sebaik-baik Nabi?
Kesalahfahaman Kelompok Penentang Tawassul Dalam Memahami Ayat & Hadits
Sebagian orang mengatakan bahwa tawassul hukumnya haram dan
menyebabkan kesyirikan, karena perbuatan ini sama dengan perbuatan orang
musyrik, berdasarkan firman Allah Swt : وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى Artinya “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya “.Az Zumar : 3
Sebenarnya ayat di atas tidaklah tepat jika ditujukan untuk
orang-orang yang beriman kepada Allah karena ayat itu diturunkan untuk
menjelaskan kelicikan orang-orang musyrik di dalam membela diri mereka
terhadap sesembahan mereka yaitu berhala-berhala yang sebenarnya mereka
meyakini bahwa berhala-berhala itu berkuasa memberi manfat dan
mendatangkan bahaya. Sedangkan orang yang beriman meyakini bahwa semua
manfaat dan bahaya semata dari Allah.
Selain itu kalimat ما نعبدهم الا ليقربونا artinya kami tidak
menyembah berhala-berhala itu kecuali untuk mendekatkan diri kami kepada
Allah. Apakah sama yang diyakini orang yang bertawasul ?, Tidak, mereka
menyembah kepada Allah dan tidak menyembah kepada selain Allah dan
mereka tidak menjadikan apa yang mereka tawassuli untuk mendekatkan diri
kepada Allah, mereka meminta kepada Allah berkat orang-orang yang soleh
yang telah diridhoi oleh Allah.
Salah besar jika melarang tawassul dengan ayat di atas. Yang lebih
mengggelikan, ayat yang ditujukan kepada musyrikin ini, mereka gunakan
untuk menyerang orang-orang beriman yang meng-esakan Allah. Imam
Bukhori berkata “Ini adalah perbuatan orang khawarij. Mereka mengambil
ayat untuk orang kafir kemudian menimpakan ayat tersebut kepada muslimin
dengan tanpa dalil dan disertai fanatik yang keterlaluan “. {lihat kitab Mas’alatul al-Washilah karya Muhammad Zaky Ibrohim hal. 8}.
Mereka juga salah di dalam memahami hadits:
اذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah” {HR. Turmudzy juz 9 hal. 56}
Dinyatakan hadits di atas dalil untuk mengharamkan bertawasul.
Sebenarnya hadits ini mengingatkan bahwa semua datangnya dari Allah
Swt. Jelasnya, bila kamu meminta kepada salah satu mahluk, maka tetaplah
berkeyakinan semuanya dari Allah Swt bukan larangan untuk meminta
kepada selain Allah sebagaimana zhohir hadits. Sesuai dengan hadits
berikut,
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ
بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ
وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah seandainya semua umat berkumpul untuk memberimu
manfaat dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memberimu manfaat
kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah Swt kepadamu. Apabila mereka
berkumpul untuk membahayakan kamu dengan sesuatu, maka mereka tidak
akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah
tentukan atasmu”. {HR. Turmudzy juz 9 hal. 56}
Bandingkan ! hadits Nabi yang berbunyi :
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Janganlah bergaul dengan kecuali orang mu’min dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertqwa” {HR. Abi Daud juz 12 hal. 458} Apakah hadits ini sebagai larangan bagi kita untuk bergaul
dengan orang kafir dan memberi makan orang yang tidak betaqwa itu haram
?. Tidak ! hadits di atas peringatan “janganlah disamakan bergaul dengan
orang yang kafir dengan bergaul dengan orang yang beriman, dan lebih
perhatikanlah membantu orang yang bertaqwa dari pada selainnya”. Hadits
tersebut hanyalah anjuran, bukan kewajiban.
Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawasul
bahkan menjadi suatu anjuran, tapi yang di atas kiranya menjadi cukup
sebagai pemikiran tentang kekurang fahaman mereka terhadap ayat-ayat dan
hadits-hadits serta kefanatikan mereka terhadap pendapat diri sendiri
tanpa menghargai pendapat orang lain yang lebih tinggi ilmu dan
kesolehannya. Wallahu A’lam
Lailatul Qadar, Malam yang lebih mulia daripada Seribu Bulan. Lailatul Qadar merupakan malam yang sangat istimewa. Siapapun orang yang beriman pasti menginginkan dirinya beruntung mendapatkan keberkahan dari Lailatul Qadar.
Jika kita cermati dari namanya, Lailatul Qadar berasal dari bahasa Arab yang berarti malam ketetapan. karena pada malam Lailatul Qadar, Alqur’an diturunkan sebagai pedoman hidup manusia dan barang siapa yang beribadah di malam itu maka pahalanya akan dilipat gandakan lebih dari 29.500 lipat. pahalanya sama saja dengan terus menerus beribadah lebih dari seribu bulan atau lebih dari 83 tahun.
Oleh karena itu, dianjurkan bagi kita untuk berdo'a dan beribadah saat Lailatul Qadar. Karena isnyaallah doa di malam Lailatul Qadar akan diijabah dan dosa-dosa kita diampuni.
Dari Aisyah. Ia berkata, “Saya bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya dapat mengetahui malam qadar itu, apakah yang sebaiknya kita ucapkan di malam itu?” jawab beliau, “ucapkanlah olehmu: ya Allah, sesungguhnya engkau pengampun, suka mengampuni kesalahan, maka ampunilah kesalahanku.” (Muttafaq Alaih)
Pada malam Lailatul Qadar, para malaikat yang membawa rahmat turun ke bumi termasuk malaikat Jibril. Ini mengindikasikan bahwa Lailatul Qadar benar-benar malam penuh keberkahan. , malam penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Dimana setan tidak bisa berbuat jahat dan manusia hanya bergelut dengan nafsu dirinya sendiri untuk bisa memanfaatkan momentum ini. Takdir tahunan pun dicatat pada malam Qadar ini.
Namun ternyata, Lailatul Qadar dijadikan rahasia oleh Allah. Kita tidak akan pernah tahu kapan pastinya malam Lailatul Qadar itu akan datang. Sekalipun begitu, Para ulama telah memberikan beberapa penjelasan mengenai datangnya Lailatul Qadar ini.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan Lailatul Qadar itu tiba. Akan tetapi pendapat yang lebih bisa dipercaya adalah di malam-malam ganjil di 10 hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits dibawah ini.
"Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu lainnya." (HR. Muslim)
Sebuah hadits shahih datang Dari sahabat Abdullah Bin Umar, “Rasulullah SAW telah bersabda, “barang siapa yang ingin menjumpai malam Lailatul Qadar, hendaklah ia mencarinya pada malam dua puluh tujuh.” (HR. Ahmad)
Berdasarkan hadits diatas, Lailatul Qadar akan terjadi di malam ke-27 Ramadhan. Namun, perbedaan penentuan awal mulai 1 Ramadhan membuat kita tak bisa menjadikan pendapat itu sebagai patokan yang mutlak.
Tanda Tanda Datangnya Malam Lailatul Qodar
Lalu bagaimana kita bisa tahu jika Lailatul Qadar telah tiba? Rasulullah SAW pernah bersabda tentang tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar. Bila kita merasakan keempat hal dibawah ini, maka kemungkinan besar Lailatul Qadar telah kita jumpai. Keempat tanda dan ciri tersebut antara lain:
1. Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, teduh, seperti tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Subuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim)
2. Keesokan hari malam Lailatul Qadar, sinar matahari tampak cerah namun teduh.
3. Di malam Lailatul Qadar, udara tidaklah dingin, tidak berawan, tidak panas, dan tidak ada badai.
4. Malaikat akan menurunkan ketenangan sehingga manusia bisa merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
"Semoga Allah mudahkan kita untuk meraih pahala dan keutamaan di malam Lailatul Qadar.. Amiin Ya Mujiibas Saailiin"
Wahai Keadaan Wahai keadaan Engkau berjalan diatas kenyataan Dengan senyuman Kadang kau tak mampu ku halau Berpijak diatas siang Terbaring letih seiring pekatnya malam Senyum tawa.. Duka lara.. Semua sama saja fatamorgana Entah berpijak ataupun melangkah Entah diam mati ataupun bergerak singgah Ketika belum sampai mulut tersumpal oleh tanah Ketika ajal lah yang menjadi pemisah Maka tantangan ini semakin bertambah dan bertambah Ingin bosan.. Tapi tak semudah itu Ingin mengelak.. Tapi nafas masih berhembus Mencoba terus mengayuh dan mengayuh Hingga tak tau kapan jiwa raga ini jenuh Pantang lisan dan hati ini mengeluh Walau terkadang sesungguhnya merapuh
Kadang sebuah mati rasa yang menjadi raga ini kuat bertahta Walau seribu cinta dan sejuta bahagia Itu tak kan cukup mengusik mu wahai dunia fana Tekad ini berusaha tangguh selama masih bernyawa
Sungguh tak mau sebuah pesimis terpintas di kepala Meski otak mendera dan hati penuh lara Karena ini adalah sebuah persinggahan yang tak lama Yang lambat laun kan kembali pada-Nya jua -Syarif alfarisi-
Rasa cinta adalah fitrah untuk setiap jiwa yang diciptakan oleh Allah SWT. Setiap cinta memiliki kadar dan kapasitas kemurnian dalam merealisasikannya. Karena cinta adalah suci hakikatnya. Ia hadir dan singgah tiada pernah lelah bagi para sang pencinta. Sesungguhnya cinta itu indah, namun karena terlalu indahnya maka ia menjadi sulit untuk di terka dan di cerna oleh akal sang para pencinta dan di cinta. Sesungguhnya cinta itu suci dan abadi, namun karena terlalu dangkal dan bodohnya jiwa, maka terkadang malah menjadi nista bahkan sia-sia. Yang lemah bisa menjadi tangguh.Yang pesimis bisa jadi bangkit. Bahkan duripun bisa berubah jadi sutera hanya karena sebuah perasaan cinta. Cinta itu tak ada yang biasa. cinta itu unik. Mampu menciptakan sesuatu yang terkadang tak mampu dilakukan. Cinta itu adalah Raja dari segala rasa. Cinta itu hebat, ia mampu berjalan di setiap keadaan. Entah itu sebuah tangisan. Ataupun sebuah senyuman. Cintapun mampu membuat seorang pencinta menjadi kreatif dan inovatif dalam mencurahkan serta merealisasikannya. Berikut kita simak sekilas tentang kemesraan, keunikan, kecerdasan, kebijakan dan keadilannya seorang Rasulullah SAW yang begitu cinta kepada istri-istrinya. Sehingga Beliau begitu cerdas, bijak dan kreatif dalam mencurahkan serta merealisasikan rasa cintanya.
Siti Aisyah Rha bertanya kepada Rasulullah SAW:
"Wahai Rasulullah ... siapakah diantara istri-istrimu yang paling engkau cintai?...
"Beliau menjawab :"Tentu saja dirimu wahai Aisyah...
"Aisyah menimpali :"Kalau begitu sampaikanlah dan katakanlah tentang hal ini pada istri-istri yang lain...
"Nabi SAW tertawa... Sambil memberi Aisyah sebutir kurma beliau bersabda :"Malam ini akan aku kumpulkan mereka dan akan aku sampaikan hal ini pada mereka... tapi ingat jangan engkau memberitahu mereka bahwa aku memberimu sebutir kurma...
"Nabi pun lalu mengunjungi istri-istrinya satu persatu dan bertanya tentang keadaan dan kabar mereka. Nabi SAW memberi pada masing-masing dari mereka sebutir kurma seraya berpesan :
"Jangan beritahu yang lain bahwa aku memberimu sebutir kurma ini...
"Malam itu.. kala seluruh istri-istri Nabi berkumpul Aisyah Rha bertanya :
"Wahai Rasulullah ... siapakah diantara kami yang paling engkau cintai?...
"Rasulullah SAW tersenyum dan menjawab :
"Tentu saja istri yang memiliki sebutir kurma pemberianku ... dialah istri yang paling aku cintai...
"Semua istri-istri nabi SAW saling pandang dan tersenyum, rasa bahagia dan senang ada di dalam diri dari masing-masing mereka, karena kecintaan Rasulullah terhadap mereka.
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله و بارك و سلم
Detik-detik Terakhir wafatnya Ummul Mukminin Khadijjah R.ha. Hari ini hari ke-11 dibulan Ramadhan, Rasulullah Muhammad SAW kehilangan istri yang paling ia cintai.. dialah Ummul Mukminin Al-Hakiki di hari ke-10 Di riwayatkan ketika Sayyidah Khadijah sakit menjelang ajalnya, khadijah berbicara kepada rasul saw:
“Aku memohon maaf kepadamu ya Rasulullah kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu"
” Rasul menjawab: “Jauh dari itu ya Khadijah, engkau telah mendukung da’wah Islam”
Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Zahra R.ha dan berbisik:
“Zahra putriku, aku yakin ajalku segera tiba, dan yang kutakutkan adalah siksaan kubur.. Zahra, tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri agar beliau mau memberikan sorbannya sehari-hari yang biasa untuk menerima wahyu agar di gunakan untuk jadi kafanku"
” Rasul mendengar dan berkata: “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu wahai Khadijah, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga….”
Tiba2 turun jibril dari langit membawa 5 kain kafan dari langit. Rasul saw bertanya:
"untuk siapa kafan ini ya jibril??"
"Jibril menjawab:
"kafan ini untuk Khadijah, engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, untuk ‘Ali dan yang ke 5 untuk Hasan"
” Jibril berhenti dan menangis. Rasul saw berkata : kenapa ya Jibril?
Jibril berkata : "karena cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan di bantai dan tergeletak tanpa kafan"
”Nabi bersabda di dekat jasad Sayidah Khadijah Ra. ”khadijahku demi Allah…Aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu.. Pengabdianmu luar biasa kepada Islam dan diriku. Allah maha mengetahui akan semua amalanmu,semua hartamu kau hibahkan untuk islam, semua kaum muslim ikut menikmatinya, semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini darimu , dan permohonan terakhirmu padaku hanyalah sebuah SORBAN….?
”Ya Allah ya ilahi Robbi Limpahkanlah rahmatmu kepada Khadijahku yang selalu membantuku dalam menegakkan islam, mempercayaiku pada saat orang lain mendustakanku…, mendukungku pada saat orang lain menentangku….. Menyenangkanku pada saat orang lain meyusahkanku…, Menentramkanku pada saat orang lain membuat aku gelisah".
Kau meninggalkanku sendirian dalam perjuangan ini siapa lagi yang akan membantuku kini… Tiba-tiba Ali bersuara, “AKU, YA RASULULLAH".
Siti Khadijah wafat dalam usia 65 tahun pada tanggal 11 Ramadhan tahun ke-10 kenabian, atau tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah atau 619 Masehi. Ketia itu, usia Rasulullah sekitar 50 tahun. Beliau dimakamkan di dataran tinggi Mekkah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun.
Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu. Karena dua orang yang dicintainya (Khadijah dan Abu Thalib) telah wafat, maka tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah. Al Fatihah untuk Sayyidatina Khadijah.
"Semoga aku dan kalian ada di hati beliau di cintai beliau sehingga Rasulullah pun mencintai kita aamiin Ya Robb..."
Secara
syari’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci
anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah
subhanahu wata’ala. Allah memerintahkan:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).
Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).
Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).
Utsman
bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan
shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan
wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama
orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah
mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).
Maka wajiblah bagi
segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini
memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam melakukan wudhu’:
1. Memulai wudhu’ dengan niat.
Niat artinya
menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena
melaksanakan perintah Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti perintah
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ibnu
Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat
niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci,
shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya.
Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan bahwa segala perbuatan
tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan
menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).
2. Tasmiyah (membaca bismillah)
Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:
Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).
Abu
Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca
bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad,
Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits
dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat
berwudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)
Dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.
3. Mencuci kedua telapak tangan
Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencuci kedua telapak tangan
saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan
lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi
orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali
setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)
4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung
Yaitu
mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam
hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk
ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara
memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini
dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)
Imam
Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi
pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan
menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur
dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).
Demikian
pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan untuk
bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan
berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )
5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.
Yakni mengalirkan
air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut
di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir
telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:
”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga
kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)
Setalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya beliau mengambil
seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah
dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal
tersebut diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).
6. Membasuh kedua tangan sampai siku
Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)
Rasulullah
membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga
kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari
sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)
Rasulullah juga
menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah,
tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan
cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)
7. Mengusap kepada, telinga dan sorban
Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah subhanahu wata’ala memerintahkan:
Rasulullah
mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua
telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan
kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya
tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)
Setelah
itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua
telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga,
kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah
bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.”(HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah,
no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam) yang mewajibkan mengambil air baru untuk
mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap
kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)
Dalam
mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan
bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya satu kali. (lihat
_Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’, lalu ia
mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya,
kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34
dan Shahih Tirmidzi no. 31)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga mencontohkan bahwa bagi orang yang
memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat
berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.
Adapun
peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh
para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti
layaknya sorban. Alasannya karena:
Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.
Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.
Adapun
Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya,
karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya,
hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).
8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki
Allah subhanahu wata’ala berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
Rasulullah
menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki
yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka,
sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka.
Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan
beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki
kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat
membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada
sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)
Imam Nawai di dalam Syarh Muslim
berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan
wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara
mengusap saja.”
Sedangkan pendapat
menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di
dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia
mengqiyaskannya dengan istinja’.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “…barangsiapa diantara kalian
yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua
tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no.
246)
9. Tertib
Semua tatacara
wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat
(menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun
(mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]
Dalam penggunaan air
hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah
mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali
basuhan [Bukhari]
10. Berdoa
Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Asyahdu
anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa
rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal
mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)
Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.
Maraji’:
Sifat Wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Syaikh Fadh asy Syuwaib.
At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari