Ia adalah
salah seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal
dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap
kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.
Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya
tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama
besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah
tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H.
Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”,
karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam.
Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf
dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai
kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh
gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi
hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang
siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan
mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai
Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai
Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara
mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i
mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali
mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi
para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu
mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun
berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di
Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di
Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung
Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu
Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang
mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat
ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari
Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul
Ulum, Gunung puyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005,
Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah
Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi
selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat
atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat
kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu
hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam
majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah
murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada
seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.
Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi
istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa
yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad
memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan
tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa
pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia
menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan
kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk
dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh
Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh
Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran
Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat
Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan
politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran
itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang
sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk
mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz
zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan Nabi Khidir, yaitu Fi
kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah ....
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik
dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi
tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan
beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat,
masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia
sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini
di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid
Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis,
kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus
menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus
berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk
digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat
tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di
Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung
halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung
jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan
Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu
hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah, yang terdiri dari
para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat
Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar
Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah
didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT,
menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.
Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia
kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini
di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku.
Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama
bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan
perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu
menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama
penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan
itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke
Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap
dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang
ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik
dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia
tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di
Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah.
Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan
kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu dihadang
perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh
perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu
memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke
kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak
berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara
lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat
hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas
Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju
engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu
berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh
Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!"
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan.
Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu
per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan
itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan
bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab
yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang
dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah
SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah
sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian
dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri."
Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan
dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km
8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh
Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan
tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud
Dahlan.
"wallahu'a'lam bisshawwab"