Friday, February 12, 2016

Sang Periang Dan Dunia Fana

Periang.. ya itulah mungkin dahulu melekat dalam sebuah jiwa dan raga ini ketika dunia yang fana tak serumit seiring bergantinya waktu. Masa-masa itu mungkin membuatku lupa akan masa sekarang. Tersenyum, tertawa, bercanda, dahulu tak pernah lekang oleh keadaan apapun di sekelilingku. Seperti apapun itu diri ini hanya melemparkan tawa dan senyum kepada dunia fana ini waktu itu. Tanpa tersadar dan terfikirkan bahwa suatu saat akan terdampar di saat ini.

Dunia bagiku adalah seperti sebuah pena, alat tulis, atau pensil warna. Sedangkan diri ini adalah sebuah kertas putih kosong yang lebar dan besar. Maka saat itulah dunia fana menorehkan tintanya, mencoret-coretnya, serta mewarnainya sedikit demi sedikit, hingga hampir penuh di "kertas" itu. Mulai dari polos kosongnya kertas itu (riang, canda, tawa,) sampai pada akhirnya berubah akibat dari coretan dunia fana ini menjadi merah, kuning, hijau, bahkan hitam (sedih, murung, melamun) hampir penuh dengan coretannya. Hampir tiada tempat lagi tuk menorehkannya.

Tinggalah serpihan-serpihan usang sisa nafas kehidupan mengiringi langkah yang setengah lunglai ini. Mengerti tak mengerti namun tetap mencoba tuk menjalani, demi menorehkan sebuah kisah dari dalam sekenario sang raja manusia. Mau tak mau, tegar atau rapuh semuanya pastikan berlalu seiring dengan bergantinya waktu. Karena hidup adalah mati, dan mati adalah sebuah kehidupan yang sejati yang tak terusik oleh rasa letih yang tiada tertatih-tatih tanpa sebuah lirih.

Kadang ingin rasanya kisah dan senyuman serta tawa yang dulu terulang lagi, bahkan berharap abadi. Ah.. ada-ada saja pinta di sanubari ini, seolah ada sebuah mesin pengulang waktu yang di ciptakan di dunia ini, namun tak apalah, biarpun begitu hati dan zahir inipun masih sempat bisa tuk pancarkan sebuah senyuman serta tawa yang khas walau hanya sekilas dan tak seperiang waktu dulu yang terlihat lepas.

Kejutan demi kejutan dalam perjalanan panjang sebuah kehidupan terus silih berganti. Entah engkau mau menangis, ataupun tertawa dengan sekeras-kerasnya bahkan berteriak di tepi sebuah lautan yang luas, maka itu akan tetap menjadi sebuah cerita kehidupan yang tiada batasan, kecuali hingga mulut ini tersumpal oleh tanah merah. Dan di situlah maka semuanya akan berhenti pada waktunya.

Bagaimanapun dan seperti apapun nanti akhir dari sekenario kehidupan ini, pinta dan harapku hanya satu, adalah tuk bisa tersenyum seperti hal nya si periang yang dahulu sempat melekat dalam zahir yang hina dina ini, walau hanya tersenyum kecil, sekilas dan sesaat namun penuh ikhlas. Diri ini akan tetap selalu merindukan sosok dan suasana si periang yang seolah bumi ini adalah miliknya.

Dari hanya sebuah langkah yang berlari-lari dengan riangnya tanpa berjuta beban dibenaknya, namun hingga sekarang cinta adalah kerikil-kerikil tajam yang kadang menghentikan langkah lincahnya itu. Cinta dan dunia fana inilah yang merubah semuanya. Gelak tawa menjadi lara, senyuman ceria berubah jadi kecewa dan begitulah seterusnya.

Sungguh, seluruh kisah ini teramat pelik bagiku, ketika kedua kaki ini berpijak lesuh. Seolah ingin berlari sejauh-jauhnya, sampai entah tak tahu di manakah kelak tuk singgah. Tak mungkin bahkan tak sudi bagiku dua mata ini berair hanya karena liku dunia fana ini, yang segala kenikmatannya hanya sebatas umur jagung, dan hanya sebatas ladang tuk merenung.

Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, entah di mana itu, yang pasti aku tak mau di dunia yang fana ini, "di sana" mungkin sosok Sang periang yang lalu ini akan bisa ku nikmati lagi. Ia.. mungkin hanya itu yang bisa ku tempatkan sebuah harapan dan keinginan di benak dan hati yang dalam ini. Tak lebih.. hanya sebuah sosok sifat nan periang di dalam jiwa dan raga ini. 

"Dan aku bahagia dengan itu... Tanpa beban..."


                                                                   -syarif alfarisi-



No comments:

Post a Comment