Sunday, December 27, 2015

Iblis Yang berjubah Wali

https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6350621372319428354#editor/target=post;postID=6331685665932639945

Saya mau curhat sedikit. Seperti yang rekan-rekan lihat, judulnya saya akui memang agak provokatif. Bagaimana tidak? Sebab figur IBLIS dan WALI memiliki kontradiksi dalam segala hal. Mata orang awam bahkan sudah dapat menilai dengan tegas dan jelas, mana yang WALI dan mana yang IBLIS. 

Tapi kawan, ada kalanya dalam hidup ini batas antara “kewalian” dan “iblisisme” itu menjadi begitu samar dan rabun. Batas yg seharusnya jelas itu, bahkan tampak seperti kabut di pagi hari. Sejuk terasa dikulit, tapi menghalangi kejernihan pandangan mata. Bukankah jauh lebih berbahaya bila kita menempuh suatu perjalanan dengan mata yang terhalang? Ketimbang kita terlena dengan sejuknya perjalanan, jauh lebih selamat bila kita dapat melihat jalur apa yang sedang kita lalui. 

Ada satu kisah menarik, anda tahu salah seorang sahabat Nabi saw yang bernama Ibnu Umi Maktum? Nama beliau adalah Abdullah. Dan beliau seorang sahabat yang tunanetra. Namun demikian, beliau terkenal sebagai seorang yang gigih keimanan dan keislamannya serta LURUS jalan hidupnya. Oleh karena itu, setiap Nabi saw memimpin ghazwah, beliau meminta Ibnu Umi Maktum menjadi wali kota di Madinah menggantikan tugas-tugas kenegaraan beliau.

Nah, sebagai seorang tunanetra, tentu sahabat Ibnu Umi Maktum ini memiliki ketergantungan kepada bantuan orang lain dalam banyak hal, termasuk sholat jamaah di masjid. Setiap hari, setiap akan shalat, beliau selalu berangkat bersama seorang sahabat. Hal itu berlangsung lama, sampai Allah menakdirkan sahabat yang selalu menemani beliau ke masjid meninggal. Setelah “sang pengantar” meninggal, Ibnu Umi Maktum menemui kesulitan untuk ke masjd, ditambah lagi, rumah beliau juga cukup jauh dari masjid. Maka suatu hari, beliau menemui Nabi saw dan bertanya : “Ya rasulullah, bolehkah saya shalat dirumah saja. Saya seorang yang buta, sulit bagi saya untuk selalu ke masjid.”

Mendengar hal itu, Yang Mulia Nabi saw bersabda : “Apakah engkau masih bisa mendengar suara azan? (maksudnya: engkau memang buta, tapi apa juga tuli?).”

Ibnu Umi Maktum menjawab : “Sungguh saya msih sangat mendengar setiap seruan azan yang dikumandangkan ya Rasulallah.”

Lalu Nabi bersabda : “Kalau begitu, datanglah untuk selalu berjamaah bersama kami.”

Setelah mendengar sabda Nabi saw, Ibnu Umi Maktum “melihat” ia tidak punya pilihan lain selain taat pada Rasulullah saw.
 
Esok subuh, mendengar alunan suara Bilal, Ibnu Umi Maktum segera berangkat ke masjid. Namun malang, karna tidak mampu melihat, maka ia tersandung batu dan terjatuh hingga keningnya berdarah. Saat berusaha bangkit itulah, ada seseorang yang menolong dan mengantarnya ke masjid. sang penolong, yang ternyata masih muda itu juga mengantar Ibnu Umi Maktum setelah selesai jamaah sampai ke rumah. Tidak hanya itu, ia juga bahkan berjanji esok, lusa, dan seterusnya untuk mengantar dan menjemput Ibnu Umi Maktum ke masjid dan dari masjid.

“Mengapa kau begitu baik padaku?” tanya sahabat yang buta ini

“Ah, tak apa. Kita memang harus saling menolong antar sesama mahluk Allah” jawab sang pemuda.

“Kalau begitu tolong beritahu aku siapa namamu anak muda..” pinta Ibnu Umi Maktum.

“Untuk apa?” tanya sang pemuda.

Ibnu Umi Maktum tersenyum, “Aku akan bedoa kepada Allah agar kau selalu diberi rahmat dan lindungan-Nya. Aku juga akan memohon kepada Rasulullah agar ia juga mendoakanmu. Sekarang katakan siapa namamu?”

“Oh, tidak usah seperti itu. Tidak apa-apa. Anda tidak perlu repot-repot mendoakan dan memperdulikan saya, nanti saat masuk waktu zhuhur saya akan kembali, sekarang saya permisi dulu.” Sang pemuda minta izin.

“Anak muda. Kalau kau berkeras tidak memberi tahu namamu. Aku bersumpah demi Allah, aku juga tak mau dan tak butuh bantuanmu.” ancam Ibnu Umi Maktum.

Melihat kekerasan dan kebulatan tekad Ibnu Umi Maktum, sang pemuda akhirnya mengalah “Baiklah, perkenalkan…akulah yang disebut IBLIS.”
Ibn Umi Maktum kaget, “Jangan main-main kamu terhadap orang tua!”

“Aku tidak main-main atau berdusta. Aku adalah IBLIS. Aku yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga.”

Ibn Umi Maktum terdiam sesaat, lalu bertanya “Kalau kau memang IBLIS, seharusnya kau menghalangiku untuk beribadah ke masjid kenapa malah MENOLONG dan MEMPERMUDAH ibadahku?”

“Wahai Abdullah, sesungguhnya saat kau terjatuh tadi, Allah swt berfirman, (Hambaku terjatuh untuk menuju-Ku. Darahnya mengalir untuk menemui ridha-Ku. Maka saksikanlah wahai para malaikat, setiap ia terjatuh…hapus lah setengah dari dosa-dosanya dan naikkan derajatnya). Dengan sekali jatuh, Allah mengampuni setengah dosamu. Aku menolongmu, sebab aku khawatir bila kau jatuh untuk kedua kali, maka dosa-dosamu akan diampuni semuanya. Aku tidak bisa membiarkan itu. Biarlah aku membantumu dengan harapan, setengah dari dosamu sudah cukup untuk menyeretmu menjadi golonganku.”

"Apa yang dapat kita petik? Ada kalanya terkadang IBLIS itu menghiasi perbuatan buruk seolah-olah ia adalah satu kebaikan. Ada kalanya IBLIS menjadikan perkara yang sunnah, mengalahkan perkara yang wajib. Memelihara janggut bisa dikategorikan sunnah, tapi manfaatkah hal itu kalau kita kemudian mencela saudara seagama yang tidak berjanggut? Padahal memelihara ukuwwah adalah perkara yang wajib. Ada kalanya IBLIS, membuat seseorang rajin bribadah, rajin beramal sambil menyesipkan sifat RIYA’ dalam hatinya. Sehingga ia merasa sesoleh WALI, padahal amalannya hanya akan jadi debu di hadapan Allah swt"

"Semoga kita bisa mengambil i'tibar dan hikmah dari kisah di atas"

Hasbunallahu wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man nashiir..

Sumber:Status Ustadz Mustamid Ibnu Umayyah dengan sedikit editing.

No comments:

Post a Comment